Rabu, 23 Mei 2012

Implementasi akad murabahah di BPS X


Berdasarkan ilustrasi penerapan akad murabahah di BPS tersebut di atas, maka terdapat perbedaan antara praktek akad murabahah di lapangan dengan akad murabahah yang ada di teori fiqih muamalah, yaitu pada :
1.                  Bank Bukan Sebagai Penjual Murni ;
      Posisi BPS bukanlah sebagai penjual murni yang memang memiliki persediaan barang (rumah) sebelum melakukan murabahah dengan nasabah. BPS hanya akan melakukan pembelian rumah sebagai syarat untuk melakukan murabahah kepada nasabah bilamana sudah dapat dipastikan ada nasabah yang akan membeli kembali (secara murabahah) rumah tersebut. Pada konteks inilah terlihat bahwa BPS memang merupakan  intermediary institution, bukan sebagai penjual murni.
      Secara teoritik dalam akad murabahah, baik pada saat transaksi maupun tidak, penjual memang sudah memiliki persediaan barang untuk dimurabahahkan.

2.                  Penggunaan Akad Wakalah ;
      Selain melakukan akad murabahah, BPS ternyata juga melakukan akad wakalah untuk mendelegasikan tugas pembelian rumah kepada nasabah sebelum dilakukan akad murabahah. Artinya, terdapat indikasi bahwa nasabah tidak akan mendapatkan barang dari bank melainkan hanya sejumlah uang pembiayaan.
      Fakta yang unik terjadi di lapangan adalah walaupun BPS menggunakan akad wakalah namun pada prakteknya nasabah tetap tidak menerima uang, dana pembiayaan yang telah dimasukkan ke rekening nasabah langsung ditransfer ke rekening developer yang ada di BPS maupun bank lain. Penggunaan akad wakalah dimaksudkan hanya sebatas untuk membutikan secara hukum positif bahwa nasabah telah menerima pembiayaan dari bank serta nasabah telah mengetahui telah terjadi transaksi jual-beli antara bank dengan developer/penjual/suplier. Jika terjadi wanprestasi di kemudian hari akan tertutup peluang nasabah akan mengingkari bahwa ia telah menerima sejumlah pembiayaan dari bank.
      Hanya sebagian kecil nasabah yang akan menerima langsung dana pembiayaan dan itu pun dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, misalnya karakter nasabah yang baik dan jujur.
      Secara teoritik dalam akad murabahah, tidak dikenal penggunaan akad wakalah pada saat transaksi murabahah antara penjual dan pembeli dilaksanakan.

3.                  Pembuatan Surat Accept (Pengakuan Hutang dan atau Sanggup Bayar)
      Menurut petugas BPS, bahwa Surat Pengakuan (Accept) merupakan salah satu diantara beberapa langkah antisipasi bank kepada nasabah dalam hal pembuktian secara hukum positif bahwa nasabah telah menerima pembiayaan dalam bentuk uang tunai maupun barang. Jika terjadi wanprestasi di kemudian hari akan tertutup peluang nasabah akan mengingkari bahwa ia telah menerima sejumlah pembiayaan dari bank.
      Secara teoritik dalam akad murabahah tidak dikenal adanya ketentuan bahwa pembeli wajib untuk mengakui hutang-nya yang dibuat secara tertulis dalam lembar dokumen yang berbeda, yaitu Surat Pengakuan (Accept). Bilamana pembeli telah menyepakati akad murabahah secara tangguh dengan penjual, maka pembeli secara otomatis sudah mempunyai kewajiban hutang kepada penjual.

4.                  Pembayaran Uang Muka / Down Payment (DP)
      Seluruh pembiayaan yang disalurkan oleh BPS dengan menggunakan beraneka ragam akad wajib tunduk pada satu ketetapan dalam SOP pembiayaan BPS yang menyatakan bahwa setiap nasabah pembiayaan wajib melakukan pembayaran uang muka (dalam rangka self financing) yang besarannya variatif maksimal 20%. Dalam konteks KPR iB, sebelum dilakukan akad pembiayaan, nasabah wajib melakukan pembayaran uang muka langsung kepada developer.
      Secara teoritik dalam akad murabahah tidak ada kewajiban pembeli untuk untuk membayar uang muka, jika murabahah dilakukan secara tangguh. Namun, jika penjual dan pembeli telah menyepakati adanya uang muka untuk transaksi murabahah maka secara syariah dibolehkan.

5.                  Potongan Murabahah Untuk Early Re-Payment
      Fakta dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar nasabah bank syariah masih memiliki pola fikir layaknya nasabah bank konvensional. Menurut mereka (nasabah bank syariah), bahwa kewajibannya dalam pembiayaan murabahah dapat dibedakan antara pokok dan marjin. Nasabah bank syariah, termasuk nasabah BPS, yang akan melakukan percepatan pelunasan pembiayaan murabahah (early re-payment) selalu meminta bank syariah untuk mengurangi kewajiban hutang marjin murabahah mereka kepada bank.
      Mengingat, hal ini masih merupakan kebiasan / urf yang terjadi di industri perbankan (termasuk syariah), maka bank mengakomodir permohonan nasabah tersebut tentunya dengan jumlah yang proporsional.
      Dalam akad murabahah, bahwa harga jual barang adalah penambahan dari harga pokok pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil penjual. Setelah akad murabahah disepakati penjual dan pembeli, harga pokok dan keuntungan telah menjadi satu kesatuan yang disebut sebagai harga jual barang murabahah. Tidak ada lagi pemisahan antara pokok pembelian barang dan keuntungan murabahah.
      Dalam akad jual-beli tangguh (murabahah), penjual boleh memberikan potongan kewajiban. Potongan tersebut akan digolongkan sebagai sedekah penjual kepada pembeli. Namun, penjual dilarang untuk melakukan penambahan atas kewajiban pembeli untuk maksud apapun. Mengingat, setelah akad murabahah (secara tangguh) disepakati antara penjual yang diikuti dengan penyerahan barang, maka jual-beli telah sempurna dilakukan sehingga yang muncul kemudian adalah hubungan hutang-piutang, yaitu hutang pembeli kepada penjual. Sebagaimana diketahui bahwa setiap tambahan atas hutang itu dilarang, karena (tambahan tersebut) merupakan riba yang diharamkan.

6.                  Penyerahan Jaminan Dari Nasabah/Pembeli
      Seluruh pembiayaan yang disalurkan oleh BPS dengan menggunakan beraneka ragam akad wajib tunduk pada satu ketetapan dalam SOP pembiayaan BPS yang menyatakan bahwa setiap pembiayaan yang akan disalurkan wajib disertai dengan jaminan. Dalam konteks KPR iB, rumah yang menjadi objek pembiayaan itu sendiri yang dijadikan jaminan atas pembiayaan murabahah rumah. Bank melakukan pengikatan secara Hak Tanggungan atas rumah tersebut.
      Secara teoritik dalam akad murabahah tidak ada kewajiban pembeli untuk untuk menyediakan jaminan dalam rangka pelaksanaan akad murabahah, jika murabahah dilakukan secara tangguh. Namun, jika pembeli telah menyepakati adanya jaminan tersebut, baik jaminan tambahan dan atau objek murabahah yang dijadikan sebagai jaminan, maka secara syariah dibolehkan.

C.    ANALISA PERJANJIAN MURABAHAH
      Akad perjianjian yang digunakan adalah transaksi yang sebenarnya terjadi di BPS. Namun, dalam rangka menjaga prinsip kerahasiaan bank, maka seluruh identitas kedua belah pihak disamarkan.
1.                  Profil Perjanjian Murabahah
      Nama yang digunakan oleh BPS dalam menerapkan akad murabahah di transaksi pembiayaan adalah Perjanjian Pembiayaan Murabahah. Perjanjian ini terdiri dari 18 (delapan belas) pasal yang terdiri dari ;
a)      Pasal 1 Jumlah Pembiayaan
b)      Pasal 2 Tujuan Pembiayaan
c)      Pasal 3 Jk. Waktu Pembiayaan
d)      Pasal 4 Penarikan Pembiayaan
e)      Pasal 5 Keuntungan Bank
f)        Pasal 6 Biaya-biaya
g) Pasal 7 Pembayaran Kembali Pembiayaan
h)      Pasal 8 Jaminan
i)      Pasal 9 Kuasa Bank Atas Rekening Penerima Pembiayaan
j) Pasal 10 Kewajiban Penerima Pembiayaan
k) Pasal 11 Pembatasan Tindakan Penerima Pembiayaan
l) Pasal 12 Pernyataan Penerima Pembiayaan
m)   Pasal 13 Peristiwa Cidera Janji (Wan Prestasi)
n)      Pasal 14 Koresponden
o)      Pasal 15 Penyelesaian Perselisihan
p)      Pasal 16 Perubahan Atas Perjanjian
q)      Pasal 17 Lampiran-Lampiran
r)       Pasal 18 Penutup
2.                  Pemenuhan Terhadap Syarat & Rukun Murabahah
      Secara umum konstruksi perjanjian murabahah yang dibuat BPS telah memenuhi syarat & rukun murabahah dengan rincian sebagai berikut :
Syarat Murabahah
Keterangan
Syarat Penjual
xxx, Pemimpin PT. Bank BPS Cabang xxx, beralamat xxx, untuk selanjutnya disebut BANK.
Syarat Pembeli
xxx, pekerjaan karyawan di xxx , alamat xxx, selanjutnya disebut PENERIMA PEMBIAYAAN.
Syarat Barang
Pasal 2 Tujuan Pembiayaan
Syarat Harga
Pasal 1 Jumlah Pembiayaan
Syarat Keuntungan
Pasal 5 Keuntungan Bank
Syarat Sighat Akad Murabahah 
 a. Bahwa PENERIMA PEMBIAYAAN bermaksud mengajukan permohonan kepada BANK untuk mendapatkan pembiayaan dengan prinsip Murabahah.
 b. Bahwa BANK menyetujui untuk  menyediakan pembiayaan dengan prinsip Murabahah kepada PENERIMA PEMBIAYAAN, untuk selanjutnya disebut  Pembiayaan.
   c.   Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, KEDUA BELAH PIHAK sepakat mengikatkan diri untuk mengadakan PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut:
      d.      Pasal 18 Penutup

Rukun Murabahah
Keterangan
Penjual
Bank
Pembeli
Penerima Pembiayaan
Barang
Pasal 2 Tujuan Pembiayaan
Harga ( termasuk keuntungan)
Pasal 1 Jumlah Pembiayaan & Pasal 5 Keuntungan Bank
Sighat Akad Murabahah
a. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, KEDUA BELAH PIHAK sepakat mengikatkan diri untuk mengadakan PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut:
b.        Pasal 18 Penutup

3.                  Koreksi Atas Pasal 1 Jumlah Pembiayaan
      Pada Pasal 1 tentang Jumlah Pembiayaan ditulis hal sebagai berikut ;
Pasal 1
JUMLAH PEMBIAYAAN
BANK sepakat memberi Pembiayaan kepada PENERIMA PEMBIAYAAN dan PENERIMA PEMBIAYAAN mengaku dan menyetujui telah memperoleh pembiayaan dari BANK sebesar Rp. 72.500.000,- (Tujuh Puluh Dua Juta Lima Ratus Ribu rupiah), dengan rincian sebagai berikut:
           Harga Barang                       = Rp   50.000.000
           Margin keuntungan               = Rp   22.500.000
           JUMLAH PEMBIAYAAN      = Rp  72.500.000

      Jika BPS menyatakan hal tersebut, maka terdapat ketidakjelasan terhadap harga jual barang dan status uang muka pembiayaan nasabah. Menurut penulis, tidak adanya informasi tentang harga jual dan uang muka nasabah dalam Perjanjian dapat merusak akad murabahah yang dibuat BPS.          
      Seharusnya, BPS mencantumkan informasi tentang Harga Jual (harga pokok dan keuntungan) dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah karena itu merupakan salah satu kesempurnaan pelaksanaan akad murabahah. Harga barang sebesar Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta) bukanlah harga jual yang sebenarnya dari barang murabahah. Melainkan harga yang telah dikurangi uang muka nasabah.
     Seharusnya, BPS juga mencantumkan informasi keberadaan uang muka murabahah yang telah dibayar oleh nasabah. Mengingat, berdasarkan SOP pembiayaan bahwa setiap nasabah pembiayaan wajib melakukan pembayaran uang muka (dalam rangka self financing) yang besarannya variatif maksimal 20%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar